Powered By Blogger

Selasa, 21 Agustus 2012

Asal-usul Kanji jepang

Kanji secara harfiah berarti "aksara dari Han", adalah aksara Tionghoa yang digunakan dalam bahasa Jepang. Kanji adalah salah satu dari empat set aksara yang digunakan dalam tulisan modern Jepang selain kana (katakana, hiragana) dan romaji.
Kanji dulunya juga disebut mana (真名?) atau shinji (真字?) untuk membedakannya dari kana. Aksara kanji dipakai untuk melambangkan konsep atau ide (kata benda, akar kata kerja, akar kata sifat, dan kata keterangan). Sementara itu, hiragana (zaman dulu katakana) umumnya dipakai sebagai okurigana untuk menuliskan infleksi kata kerja dan kata-kata yang akar katanya ditulis dengan kanji, atau kata-kata asli bahasa Jepang. Selain itu, hiragana dipakai menulis kata-kata yang sulit ditulis dan diingat bila ditulis dalam aksara kanji. Kecuali kata pungut, aksara kanji dipakai untuk menulis hampir semua kosakata yang berasal dari bahasa Tionghoa maupun bahasa Jepang.

Secara resmi, aksara Tionghoa pertama kali dikenal di Jepang lewat barang-barang yang diimpor dari Tionghoa melalui Semenanjung Korea mulai abad ke-5 Masehi. Sejak itu pula, aksara Tionghoa banyak dipakai untuk menulis di Jepang, termasuk untuk prasasti dari batu dan barang-barang lain. 
Sebelumnya di awal abad ke-3 Masehi, dua orang bernama Achiki dan Wani datang dari Baekje di masa pemerintahan Kaisar Ōjin. Keduanya konon menjadi pengajar aksara Tionghoa bagi putra kaisar.[1] Wani membawa buku Analek karya Kong Hu Chu dan buku pelajaran menulis aksara Tionghoa untuk anak-anak dengan judul Seribu Karakter Klasik.[2] Walaupun demikian, orang Jepang mungkin sudah mengenal aksara Tionghoa sejak abad ke-1 Masehi. Di Kyushu ditemukan stempel emas asal tahun 57 Masehi yang diterima sebagai hadiah dari Tiongkok untuk raja negeri Wa (Jepang).[1]

Dokumen tertua yang ditulis di Jepang menurut perkiraan ditulis keturunan imigran dari Tiongkok. Istana mempekerjakan keturunan imigran dari Tiongkok bekerja di istana sebagai juru tulis. Mereka menuliskan bahasa Jepang kuno yang disebut yamato kotoba dalam aksara Tionghoa. Selain itu, mereka juga menuliskan berbagai peristiwa dan kejadian penting.[2]
Sebelum aksara kanji dikenal orang Jepang, bahasa Jepang berkembang tanpa bentuk tertulis. Pada awalnya, dokumen bahasa Jepang ditulis dalam bahasa Tionghoa, dan dilafalkan menurut cara membaca bahasa Tionghoa. Sistem kanbun (漢文?) merupakan cara penulisan bahasa Jepang menurut bahasa Tionghoa yang dilengkapi tanda diakritik. Sewaktu dibaca, tanda diakritik membantu penutur bahasa Jepang mengubah susunan kata-kata, menambah partikel, dan infleksi sesuai aturan tata bahasa Jepang.
Selanjutnya berkembang sistem penulisan man'yōgana yang memakai aksara Tionghoa untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Sistem ini dipakai dalam antologi puisi klasik Man'yōshū. Sewaktu menulis man'yōgana, aksara Tionghoa ditulis dalam bentuk kursif agar menghemat waktu. Hasilnya adalah hiragana yang merupakan bentuk sederhana dari man'yōgana. Hiragana menjadi sistem penulisan yang mudah dikuasai wanita. Kesusastraan zaman Heian diwarnai karya-karya besar sastrawan wanita yang menulis dalam hiragana. Sementara itu, katakana diciptakan oleh biksu yang hanya mengambil sebagian kecil coretan dari sebagian karakter kanji yang dipakai dalam man'yōgana.

  Cara pengucapan
Satu aksara kanji bisa memiliki cara membaca yang berbeda-beda. Selain itu tidak jarang, satu bunyi bisa dilambangkan oleh aksara kanji yang berbeda-beda. Aksara kanji memiliki dua cara pengucapan, ucapan Tionghoa (on'yomi) dan ucapan Jepang (kun'yomi).

Ucapan Tionghoa (on'yomi)

On'yomi (音読み?) atau ucapan Tionghoa adalah cara membaca aksara kanji mengikuti cara membaca orang Tionghoa sewaktu karakter tersebut diperkenalkan di Jepang. Pengucapan karakter kanji menurut bunyi bahasa Tionghoa bergantung kepada zaman ketika karakter tersebut diperkenalkan di Jepang. Akibatnya, sebagian besar karakter kanji memiliki lebih dari satu on'yomi. Kanji juga dikenal orang Jepang secara bertahap dan tidak langsung dilakukan pembakuan.
On'yomi dibagi menjadi 4 jenis:
  • Go-on (呉音?, "ucapan Wu") adalah cara pengucapan dari daerah Wu di bagian selatan zaman Enam Dinasti Tiongkok. Walaupun tidak pernah ditemukan bukti-bukti, ucapan Wu diperkirakan dibawa masuk ke Jepang melalui Semenanjung Korea dari abad ke-5 hingga abad ke-6. Ucapan Wu diperkirakan berasal dari cara membaca literatur agama Buddha yang diwariskan secara turun temurun sebelum diketahui cara membaca Kan-on (ucapan Han). Semuanya cara pengucapan sebelum Kan-on digolongkan sebagai Go-on walaupun mungkin saja berbeda zaman dan asal-usulnya bukan dari daerah Wu.
  • Kan-on (漢音?, "ucapan Han") adalah cara pengucapan seperti dipelajari dari zaman Nara hingga zaman Heian oleh utusan Jepang ke Dinasti Tang dan biksu yang belajar ke Tiongkok. Secara khusus, cara pengucapan yang ditiru adalah cara pengucapan orang Chang'an.
  • Tō-on (唐音?, "ucapan Tang") adalah cara pengucapan karakter seperti dipelajari oleh biksu Zen antara zaman Kamakura dan zaman Muromachi yang belajar ke Dinasti Song, dan perdagangan dengan Tiongkok.
  • Kan'yō-on (慣用音?, "ucapan populer") adalah cara pengucapan on'yomi yang salah (tidak ada dalam bahasa Tionghoa), tapi telah diterima sebagai kelaziman.
Kanji Arti Go-on Kan-on Tō-on Kan'yō-on
terang myō (明星 myōjō) mei (明暗 meian) (min)* (明国 minkoku)
pergi gyō (行列 gyōretsu) (行動 kōdō) (an)* (行灯 andon)
ibu kota kyō (京都 Kyōto) kei (京阪 Keihan) kin (南京 Nankin)
biru, hijau shō (緑青 rokushō) sei (青春 seishun) chin (青島 Chintao) -
murni shō (清浄 shōjō) sei (清潔 seiketsu) (shin)* (清国 Shinkoku)
mengirim (shu)* (shu)* yu (運輸 un-yu)[3]
tidur (men)* (ben)* min (睡眠 suimin) [4]
*Ucapan yang tidak umum

Ucapan Jepang (kun'yomi)

Kun'yomi (訓読み?) atau ucapan Jepang adalah cara pengucapan kata asli bahasa Jepang untuk karakter kanji yang artinya sama atau paling mendekati. Kanji tidak diucapkan menurut pengucapan orang Tionghoa, melainkan menurut pengucapan orang Jepang. Bila karakter kanji dipakai untuk menuliskan kata asli bahasa Jepang, okurigana sering perlu ditulis mengikuti karakter tersebut.
Seperti halnya, on'yomi sebuah karakter kadang-kadang memiliki beberapa kun'yomi yang bisa dibedakan berdasarkan konteks dan okurigana yang mengikutinya. Beberapa karakter yang berbeda-beda sering juga memiliki kun'yomi yang sama, namun artinya berbeda-beda. Selain itu, tidak semua karakter memiliki kun'yomi.
Kata "kun" dalam kun'yomi berasal kata "kunko" (訓詁?) (pinyin: xungu) yang berarti penafsiran kata demi kata dari bahasa kuno atau dialek dengan bahasa modern. Aksara Tionghoa adalah aksara asing bagi orang Jepang, sehingga kunko berarti penerjemahan aksara Tionghoa ke dalam bahasa Jepang. Arti kanji dalam bahasa Tionghoa dicarikan padanannya dengan kosakata asli bahasa Jepang.
Sebagai aksara asing, aksara Tionghoa tidak dapat diterjemahkan semuanya ke dalam bahasa Jepang. Akibatnya, sebuah karakter kanji mulanya dipakai untuk melambangkan beberapa kun'yomi. Pada masa itu, orang Jepang mulai sering membaca tulisan bahasa Tionghoa (kanbun) dengan cara membaca bahasa Jepang. Sebagai usaha membakukan cara membaca kanji, satu karakter ditetapkan hanya memiliki satu cara pengucapan Jepang (kun'yomi). Pembakuan ini merupakan dasar bagi tulisan campuran Jepang dan Tiongkok (wa-kan konkōbun) yang merupakan cikal bakal bahasa Jepang modern.

Kokkun

Kokkun (国訓?) adalah karakter kanji yang mendapat arti baru yang sama sekali berbeda dari arti semula karakter tersebut dalam bahasa Tionghoa, misalnya:
  • chū, okitsu, oki (jauh di laut, lepas pantai; pinyin: chōng, membilas; chòng, kuat)
  • 椿 tsubaki (Kamelia; pinyin: chūn, Ailanthus)

Jūbakoyomi dan yutōyomi

Kamus The Kodansha Kanji Learner's Dictionary, karya ahli bahasa Jack Halpern.
Gabungan dua karakter sering tidak mengikuti cara membaca on'yomi dan kun'yomi melainkan campuran keduanya yang disebut jūbakoyomi (重箱読み?). Karakter pertama dibaca menurut on'yomi dan karakter kedua menurut kun'yomi, misalnya:
  • 重箱 (jūbako)
  • 音読み (on'yomi)
  • 台所 (daidokoro)
  • 役場 (yakuba)
  • 試合 (shiai)
  • 団子 (dango).
Sebaliknya dalam yutōyomi (湯桶読み?), karakter pertama dibaca menurut kun'yomi dan karakter kedua menurut on'yomi, misalnya:
  • 湯桶 (yutō)
  • 合図 (aizu)
  • 雨具 (amagu)
  • 手帳 (techō)
  • 鶏肉 (toriniku).

Karakter buatan Jepang

Kokuji (国字 aksara nasional?) atau wasei kanji (和製漢字 kanji buatan Jepang?) adalah karakter kanji yang asli dibuat di Jepang dan tidak berasal dari Tiongkok. Kokuji sering hanya memiliki cara pembacaan kun'yomi dan tidak memiliki on'yomi, misalnya:
Beberapa kokuji dipungut oleh bahasa Tionghoa, misalnya: (xiàn).

Daftar kanji

Pemerintah Jepang mengeluarkan daftar aksara kanji yang disebut Tōyō Kanji pada 16 November 1946 yang seluruhnya berjumlah 1.850 karakter. Daftar ini memuat aksara kanji yang telah disederhanakan atau shinjitai (新字体?, karakter bentuk baru). Sebaliknya, aksara kanji yang belum disederhanakan disebut kyūjitai (旧字体?).
Karakter tradisional dan karakter yang disederhanakan.
Daftar Tōyō Kanji digantikan dengan daftar Jōyō Kanji berisi 1.945 karakter yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Jepang pada 10 Oktober 1981. Hingga sebelum akhir Perang Dunia II, Kementerian Pendidikan Jepang sudah 4 kali menyusun daftar Jōyō Kanji (1923, 1931, 1942, dan 1945).
Kementerian Pendidikan juga memiliki daftar Kyōiku Kanji yang diambil dari daftar Jōyō Kanji. Daftar ini berisi 1.006 karakter untuk dipelajari anak sekolah dasar di Jepang. Selain itu, pemerintah Jepang mengeluarkan daftar Jinmeiyō Kanji (kanji nama orang) yang dipakai untuk menulis nama orang. Hingga 27 September 2004, daftar Jinmeiyō Kanji berisi 2.928 karakter (daftar Jōyō Kanji ditambah 983 kanji nama orang).

Yuurei_Japanese Ghost



Yūrei (幽霊?) adalah figur dalam cerita rakyat Jepang, yang sepadan dengan hantu. Istilah tersebut terdiri dari dua huruf kanji, (), berarti "redup" atau "samar", dan (rei), berarti "jiwa" atau "spirit." Nama alternatifnya antara lain Bōrei (亡霊?) yang berarti arwah orang meninggal, Shiryō (死霊?) berarti jiwa orang mati, atau dalam pengertian yang lebih luas meliputi Yōkai (妖怪?) atau Obake (お化け?). Seperti padanan mereka dalam mitologi Tionghoa dan Barat, mereka diyakini sebagai jiwa setelah mati.
Menurut kepercayaan masyarakat Jepang, seluruh manusia memiliki spirit atau jiwa yang disebut reikon (霊魂?). Saat seseorang meninggal, reikon meninggalkan jasad dan memasuki tempat penyucian, tempat mereka menunggu selama upacara pemakaman dan pasacapemakaman dilaksanakan dengan layak, agar mereka dapat berkumpul dengan para leluhur. Jika ritual dilaksanakan dengan benar, maka reikon dipercaya sebagai pelindung keluarganya yang masih hidup dan kembali tiap tahun di bulan Agutus saat hari raya Obon untuk menerima ungkapan terima kasih.
Bagi seseorang yang tewas dalam cara yang tak lazim atau secara sadis, misalnya dibunuh atau bunuh diri, dan bila ritual yang benar tidak dilaksanakan, atau bila almarhum masih dipengaruhi emosi yang kuat seperti balas dendam, asmara, kecemburuan, kebencian, atau kesedihan, maka reikon dipercaya akan berubah menjadi yūrei, yang dapat menyebrangi batas antara alam baka dengan alam fana (dunia manusia).
Yūrei berada di dunia manusia sampai ia menjadi tenang, baik dengan cara mendoakannya melalui upacara pemakaman yang layak dan benar, atau dengan memenuhi keinginan yang belum tercapai yang masih membelenggunya di dunia fana. Jika upacara tidak berlangsung dengan semestinya atau bila keinginannya belum terpenuhi maka yūrei akan tetap bergentayangan.
Ciri-ciri: 
Pada akhir abad ke-17, permainan yang disebut Hyakumonogatari Kaidankai menjadi populer, dan kaidan (cerita hantu) semakin sering menjadi subjek pementasan teater, literatur, dan cabang seni lainnya. Pada masa tersebut, atribut-atribut tertentu disematkan untuk membedakan yūrei dengan manusia biasa, sehingga karakter yūrei lebih mudah dikenali.
Seniman ukiyo-e, Maruyama Ōkyo membuat contoh terkenal pertama yang kini dikenali sebagai sosok yūrei secara tradisional, dalam lukisan Hantu Oyuki.
Di masa kini, penampakan yūrei agaknya seragam, yang secara sederhana mengindikasikan sifatnya yang gaib, dan keaslian ciri kultural sosok tersebut sangat terasa.
  • Pakaian putih: biasanya Yūrei berpakaian serba putih, mencirikan tradisi kimono putih saat upacara pemakaman yang digunakan sejak upacara pemakaman zaman Edo. Dalam agama Shinto, pakaian putih dipakai karena putih adalah warna yang melambangkan kemurnian upacara, yang secara tradisional dipakai oleh para pendeta dan jasad yang dimakamkan. Kimono tersebut dapat berupa katabira (kimono polos, putih, tak bergaris) atau kyokatabira (katabira putih yang ditulis sutra Buddha). Kadangkala yūrei memakai hitaikakushi ("ikat kepala"), berupa potongan kain berbentuk segitiga yang diikat di dahi.
  • Rambut hitam: Biasanya rambut yūrei panjang, hitam, dan acak-acakan.
  • Tangan dan kaki: Tangan yūrei menjuntai lemas. Ciri khasnya tidak memiliki kaki, sehingga melayang di udara. Ciri ini berasal dari cetakan ukiyo-e zaman Edo, dan disebarluaskan dalam pementasan kabuki.
  • Hitodama: Seringkali yūrei ditemani oleh bola api atau hitodama, dengan warna biru, hijau, atau ungu. Bola api tersebut merupakan bagian terpisah dari yūrei dan bukan merupakan hantu tersendiri.

Meskipun makhluk kategori hantu Jepang disebut yūrei, dalam kategori tersebut ada beberapa tipe hantu berciri khusus, yang diklasifikasikan terutama menurt cara kematian atau alasan mereka kembali ke dunia manusia.

 

  • Onryō: Arwah penasaran yang kembali dari tempat penyucian karena perbuatan jahat yang dilakukan pada mereka saat mereka masih hidup.
  • Ubume: Hantu ibu yang meninggal saat melahirkan, atau meninggalkan bayinya yang baru lahir. Yūrei ini gentayangan untuk merasakan bagaimana mengasuh anak dan seringkali memberi manisan kepada anak-anak.
  • Goryō: Arwah penasaran dari golongan pejabat atau bangsawan, khususnya bagi yang dihukum mati demi mempertahankan prinsipnya atau karena masalah politik.
  • Funayūrei: Hantu orang yang tewas di laut. Hantu tersebut biasanya digambarkan sebagai sosok manusia bersisik ikan dan beberapa di antaranya berwujud menyerupai duyung.
  • Zashiki-warashi: Hantu anak-anak, seringkali bertingkah nakal daripada berbahaya.
  • Hantu Samurai: Para veteran Perang Genpei yang gugur dalam pertempuran. Hantu Kesatria biasanya tampil istimewa dalam pertunjukan Noh. Tidak seperti kebanyakan yūrei, hantu ini biasanya digambarkan berkaki.
  • Hantu Pemikat: Hantu wanita atau pria yang berkeinginan merasakan cinta setelah kematiannya, seperti yang dikisahkan dalam Botan Dōrō.