Powered By Blogger

Selasa, 08 Mei 2012

Harajuku


Harajuku Style

Pernah dengar Harajuku Style? Itu lho, sekelompok orang yang menggunakan pakaian aneh meniru gaya jalanan (street style) di Jepang. Di Indonesia sendiri komunitas ini sudah mulai merebak. Event-event yang mempertemukan atau melombakan gaya pakaian Harajuku Style ini diadakan tiap tahunnya.

Bunga Sari Siregar, lulusan S2 Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengangkat Harajuku Style sebagai tesisnya yang berjudul “Kajian Visual Harajuku Style di Indonesia Ditinjau Melalui Pendekatan Unsur – Unsur Fashion”. Gaya Harajuku telah mempengaruhi dunia termasuk Indonesia. Sejauh mana gaya Harajuku tersebut masuk di Indonesia? Bunga mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tesisnya yang setebal dua ratus lebih halaman.

Harajuku, merupakan salah satu sentral street style di Jepang yang kini sangat menarik minat anak muda dunia, termasuk Indonesia. Gaya, pilihan warna, dan motif pakaian yang dikenakan para kaum muda di seputar Harajuku banyak ditiru oleh kalangan muda di Indonesia. Umumnya, mereka memiliki perhatian khusus pada produk budaya pop Jepang seperti anime, cosplay, komik, makanan, film, majalah, dan juga musik serta bahasa Jepang. Para kaum muda ini hadir membawa produk persilangan budaya baru yang merupakan perpaduan Jepang – Indonesia.

Bunga menjelaskan bahwa Harajuku Style sendiri terbagi menjadi sub-sub gaya, yakni Harajuku Style, Lolita, Visual Kei, Gothic, Cosplay, Ganguro, Gyaru, dan Kogal. Namun sub gaya Harajuku yang masuk di Indonesia antara lain yaitu Harajuku Style, gothic, fruits, visual kei, cosplay, dan Lolita.

“Pada dasarnya fashion Harajuku ini sangat bertolak belakang dengan fashion system masyarakat pada umumnya. Artinya, di Harajuku Style ini kita menemukan fashion system yang baru,” kata Bunga.

Parameter yang digunakan dalam penelitian Harajuku Style ini adalah unsur-unsur fashion, yakni bentuk (silhouette), garis, detail, bahan, tekstur, motif, dan warna. Selain itu digunakan juga prinsip-prinsip fashion meliputi proporsi, keseimbangan, pengulangan, aksentuasi, dan keselarasan.

Harajuku Style mengalami dekonstruksi berbusana, di mana gaya tersebut mengalami pergeseran nilai-nilai, dalam fashion umumnya. “Umumnya baju kan simetri, kalau Harajuku Style itu banyakan asimetri. Antara sebelah kanan dan kiri ukurannya berbeda, sebelah ada tangan, sebelah lagi nggak ada. Kanan pajang, kiri lebih pendek. Sebelah kanan ada kerah, sebelah kiri terbuka,” papar Bunga.

Gaya Harajuku asalnya merupakan pemberontakan dan pelarian, diadopsi menjadi tren yang meriah di sekitar kita. Harajuku, sebuah area di Tokyo, menjadi tempat anak muda berkumpul untuk melepaskan tekanan hidup sehari-hari. Setiap akhir Minggu, mereka berkumpul dan berdandan luar biasa ekstrim. Baju jadi celana, celana jadi baju, sepatu jadi ikat pinggang, baju dari plastik warna-warni, ekspresi gaya Gothic, Lolita, peniruan tokoh-tokoh komik Jepang, manga, dan animasi bertebaran di kawasan ini. Yang penting, mereka menjadi sosok yang berbeda dari kehidupan sehari-hari yang cenderung membosankan.

Tiarma Sirait, fashion artist yang selama tiga tahun menjadi Artist In Residency di Fukuoka Asian Art Museum dalam diskusi Iketaru Harajuku pada 26 September 2006 bertempat di Hall The Japan Foundation Jakarta mengatakan, “fashion cuma alat saja buat mereka untuk melepas stres dan lari dari kepribadian mereka setelah sebelumnya mereka bekerja dengan disiplin.”

Memakai busana ataupun berdandan gaya Harajuku di Indonesia tidak harus merasa memberontak terhadap suatu apapun. Berdasarkan penelitian kepada seratus responden, faktor utama yang memotivasi anak muda Indonesia dalam bergaya Harajuku adalah kebebasan berekspresi. Motivasi lain yakni kreativitas, meningkatkan kepercayaan diri, pemberontakan, dan agar dapat diterima oleh kelompok tertentu.

Visualisasi Harajuku Style Indonesia dalam meniru, mencontoh, dan mengadopsi Harajuku Style tidak bisa sama persis seperti yang di Jepang sana karena ada faktor-faktor tertentu. Faktor yang mempengaruhi totalitas tersebut yakni faktor persediaan barang yang terbatas, faktor ekonomi, faktor agama, iklim, dan lain-lain.

“Kalau di Indonesia, gothic hanya memakai kemeja hitam dan celana hitam. Padahal gothic yang sesungguhnya itu dari atas sampai bawah, mulai dari aksesoris seperti kalung sampai kuteks,” tutur Bunga.

“Saya juga observasi tentang warna. Ternyata bisa diambil kesimpulan bahwa warna Harajuku Style di Jepang lebih bright, lebih panas. Warna-warna panas itu seperti merah, kuning, oranye. Di Indonesia digunakan warna-warna dingin, seperti biru, hijau, putih. Mungkin karena adanya perbedaan iklim,” terangnya. “Dari segi rambut, kalau Harajuku Style di Jepang, mereka mengecat permanen dan mereka sehari-hari seperti itu. Di Indonesia masih temporary, pakai wig atau bahkan rambut biasa aja. Selain itu make-up Harajuku Style Jepang lebih totalitas. Bibir dihitamkan, pakai piercing (tindikan). Kalau di sini anak mudanya nggak berani piercing, karena harus ke sekolah lagi.”

Sub gaya Harajuku Style yang dominan di Indonesia yakni Harajuku Style itu sendiri. Alasannya, konsep lebih bebas, memadu-padankan baju-baju yang sudah ada. Kemudian gothic, nggak hanya di Indonesia, di luar juga sangat suka gothic. Decora/fruits yang lucu. Lolita kayak Pinkan Mambo.

Gaya Harajuku di Indonesia mengalami transformasi. Di mana ketika gaya Harajuku di Jepang merupakan gaya jalanan/street sedangkan di Indonesia gaya tersebut mengalami proses adopsi secara Horizontal-Flow Theory yaitu gaya tersebu diimitasi atau ditiru untuk distribusi massal. Bahkan menjadi Upward-Flow Theory, yaitu gaya tersebut diadopsi oleh kaum muda Indonesia untuk dipakai di acara-acara tertentu saja atau fashion show.

“Gaya Harajuku di Jepang merupakan gaya jalanan. Yang memakai pun bukan kalangan atas seperti buruh, kalangan-kalangan bawah, orang-orang yang tidak berpendidikan. Tapi begitu masuk ke negara-negara lain, seperti Indonesia, hal tersebut malah menjadi panggung massal. Malah jadi tren sehingga sering di-fashion show-kan,” kata Bunga.

Komik dapat dikatakan media awal yang sangat berpengaruh dalam masuknya gaya Jepang dan banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Awal 1990-an, PT Elex Media Komputindo meluncurkan komik Jepang, Candy – Candy yang meledak di pasaran. Setelah itu, Elex juga mengeluarkan komik Jepang lain seperti Kungfu Boy, Doraemon. Pengaruh ini semakin merasuk pada dunia remaja ketika didukung oleh filmnya. Kemudian menyusul banyaknya anak muda di Jakarta yang juga demam game online di Jepang seperti Ragnarok, Get Amped, dan Rising Force. Hal ini dibuktikan oleh Andi Suryanto, Executive Editor Lyto, perusahaan pemilik lisensi tiga game asal Jepang tersebut mengatakan bahwa ada empat juta gamer di seluruh Indonesia (Kontan, Rabu 2 Januari 2008, Angga Aliya).

1 komentar: